“Tatkala lahir, kita menangis orang lain tersenyum. Saat wafat, orang boleh menangis, tapi jiwa tercerahkan tersenyum”, begitu bunyi pesan di Ashram pagi ini.
Bayi menangis bercerita persiapan tentang tidak mudahnya tumbuh di alam samsara ini. Bahkan penuh dg rasa sakit. Salah-salah terjatuh.
Tidak sedikit manusia yg betul-betul terjatuh di alam ini. Termasuk Guru spiritual. Tapi tidak elok bercerita pengalaman buruk orang lain.
Tidak elok! Lebih baik berbagi kabar baik. Karena sangat malu meminjam rumah orang terlalu lama, setelah 8 tahun melayani di Vihara, kami pamit.
Sekali lagi karena malu. Kimud bahasa Balinya. Dan di hari kami berpamitan, disaksikan oleh banyak orang, sejumlah patung Buddha meneteskan air mata.
Terutama patung Buddha Amitaba. Tetesan air matanya paling deras. Begitu selesai namaskara di Pagodha Avalokiteshvara, terdengar oleh banyak orang, ada suara wanita menangis terharu sekali.
Kendati demikian, tetap kami melanjutkan perjalanan spiritual. Menjadi kelompok nomaden. Pindah dari satu tempat ke tempat yg lain.
Karena umur tidak lagi muda, maka diusahakan Guruji hadir melalui medsos. Lagi-lagi tidak sedikit yg terharu menangis hanya mendengarkan lagu yg diaransemen secara sangat sederhana.
Lebih bahaya tentu saja, tapi jiwa juga lebih bercahaya. Kualitas sahabat dekat sangat teruji. Yg tersisa sangat sedikit sahabat tapi sangat berkualitas.
Mengulangi pesan di awal: “Saat lahir, nyaris semua bayi menangis. Tapi nanti saat wafat, usahakan bibir agar tersenyum indah”.
Photo by Bharath Reddy on unsplash