Compassion

Bali my love…

Ditulis oleh Gede Prama

Di zaman dulu, bulan oktober adalah bulan surga di Bali. Di bulan saat ada Purnama Kartika, langit terang benderang, bumi penuh bunga bermekaran.

Oktober 2022 ini unik, terjadi longsong dan banjir bandang di banyak pojokan pulau Bali. Bahkan menelan nyawa manusia.

Ajakannya, jangan pernah menggunakan bencana alam utk menjelekkan orang. Apa lagi pemimpin. Jangan pernah! Sebabnya sederhana.

Kata-kata buruk kita tentang orang lain lebih banyak bercerita kualitas buruk kita di dalam. Utk itu, mari belajar mengerti alam Bali lebih dalam lagi.

Merenungkan upacara

Dg tidak menggunakan bahasa rendah-tinggi, di Bali langkah spiritual baru dianggap sah (legal), jika diadakan ritual (upacara).

Ia mirip dg anak SD yg baru lulus. Baru dianggap sah jadi lulusan SD jika punya ijazah. Catatannya, ijazah itu akan bermakna jika anaknya punya kualitas.

Bila tidak punya kualitas, jangankan ijazah SD, ijazah S3 pun tidak banyak gunanya. Hal yg sama terjadi dg upacara. Tanpa kualitas, ia sedikit Cahayanya.

Utk itu, tidak perlu buru-buru minta pemilu utk mengganti pemimpin. Yg lebih diperlukan adalah buru-buru memperbaiki kualitas diri di dalam.

Suatu hari Hanuman sedang mengangkat batu super besar utk membangun jembatan. Di depannya ada tupai kecil yg menghalangi.

Sambil tersenyum Sang Rama berbisik: “Tupai kecil itu punya misi suci yg sama dg dirimu”. Dg kata lain, kualitas tidak selalu terkait dg hal-hal besar di luar.

Tapi ia lebih terkait dg hal-hal Agung di dalam. Sekali lagi di dalam! Makanya salah satu tempat suci sakral di Bali namanya Pura Dalem.

Mempercantik kualitas

Planet tempat kita hidup disebut Ibu Pertiwi. Artinya, jika mau sehat bahagia di bumi, ingat bertumbuh menggunakan spirit feminin ala seorang Ibu.

Cermati gerbang tempat suci di Bali. Semuanya diukir indah. Ia ajakan agar orang Bali hidupnya sangat indah mulai dari gerbang terluar.

Tatapan mata yg penuh penerimaan, bibir yg kaya senyuman, kata-kata yg menyejukkan, tindakan yg absen dari kekerasan, itu gerbang luar yg indah.

Perhatikan penjor yg banyak dipasang di hari Nyepi. Itu cerita perjalanan indah menuju Tuhan. Miliki akar kebahagiaan yg kokoh di dalam (bersyukur).

Tumbuhlah menuju Cahaya. Setelah tinggi secara alami akan merunduk. Dan setelah dibelah, bambunya kosong. Tetua Bali menyebutnya Embang.

Keheningan sempurna. Cermati lagu tua di Bali. Hidup seperti menyapu lantai. Kendati terus disapu, debu terus berdatangan.

Manakala dalam penggaliannya, di sana kerama Bali mengerti, yg bikin kotor dan yg bikin bersih ternyata tangan suci yg sama.

Makanya tetua Bali merakan tahun baru dg hari hari Nyepi. Menyebut Tuhan dg sebutan Hyang Embang (The ultimate silence).

Lokasamasta sukhino bhawantu. Sabbe satta bhawantu sukitatta. Semoa kebaikan datang dari segala penjuru.

Photo courtesy: Unsplash

Tentang Penulis

Gede Prama

Guruji Gede Prama memulai perjalanan spiritual dengan berdialog bersama Guru simbolik di sebuah desa di Bali Utara. Ini kemudian diperkaya dengan sekolah ke luar negeri, perjumpaan dengan Guru spiritual dunia seperti YM Dalai Lama, YA Thich Nhat Hanh serta Profesor Karen Armstrong, serta olah meditasi yang panjang.

Kendati pernah memimpin perusahaan dengan ribuan karyawan, terbang ke beberapa negara untuk tujuan mengajar, tapi semua itu ditinggalkan karena dipanggil oleh bom Bali di tahun 2002. Sejak beberapa tahun lalu beliau bahkan tidak pernah meninggalkan Bali, sekali-sekali saja keluar dari keheningan hutan untuk mengajar di tempat-tempat suci di Bali.

Detil dan kontak di https://www.gedeprama.com/

Silahkan Berkomentar

 

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.