Kedamaian

Merenungkan hari kemenangan Cahaya

Ditulis oleh Gede Prama

Seorang tourist dari Inggris bertanya pada guide-nya tentang makna hari Galungan di Bali. Dg polos guide-nya menjawab: “Hari kemenangan Cahaya melawan kegelapan”.

Utk publik awam, jawaban ini sudah cukup. Tapi utk pencari Cahaya, jawaban ini perlu dibikin lebih dalam. Mari merenungkan sejarah secara lebih dalam.

Dalam semua sejarah manusia – sekali lagi semua, sejarah selalu ditulis oleh pihak yg menang. Pihak yg kalah tidak diizinkan menggoreskan tinta di lembaran sejarah.

Hal yg sama terjadi dg sejarah Galungan. Sejauh yg bisa dilihat dg mata spiritual, Mayadenawa yg menjadi pihak yg kalah ketika itu adalah penganut Buddha Mahayana.

Yg inti ajarannya adalah kesunyataan (kekosongan). Kesunyataan inilah yg dipelesetkan secara berbahaya menjadi ateis dan anti Tuhan. Kemudian digunakan alasan utk membunuh.

Maklum, politik dan kekuasaan sejak dulu memang tidak pernah jernih. Bila mau jernih, Tuhan itu kosong sekaligus isi. Jika mau memasukkan teh ke cangkir, cangkirnya harus kosong terlebih dahulu.

Bila seseorang mau Tuhan hadir di dalam, yg bersangkutan harus kosong dari kecongkakan, kesombongan, keinginan dan persaingan berlebihan.

Dan begitu seseorang mengalami kebersatuan (baca: isi atau tercerahkan), yg bersangkutan biasanya kosong dari hal-hal yg berbau ego dan keangkuhan.

Di tingkat pencapaian seperti ini, kegelapan dan Cahaya tidak mengenal istilah kalah-menang. Keduanya hadir secara saling melengkapi.

Tanpa malam, siang tidak akan indah. Tanpa lumpur, tidak akan ada lotus (teratai) yg indah. Tanpa kegelapan, Cahaya mana pun tidak akan memancar indah.

Tetua Bali arif sekali tatkala mengisi putaran waktu Galungan ke Kuningan. Semuanya serba dipersiapkan secara sangat rapi. Hari ini senen, umat diminta mempersiapkan kue (penyajaan).

Besok selasa hari penampahan. Memotong ketidaktahuan avidya. Setelah avidya dipotong, baru boleh menyebut diri menang di hari rabu Galungan.

Menang dari amarah, dendam, iri, sakit hati serta kegelapan lain di dalam. Melewati soma pemacukan agung, seorang pencari diuji kualitas keseimbangannya.

Jika berhasil, baru bisa memasuki hari serba kuning (baca: Kuningan) di tgl 18/6 2022. Dalam bahasa orang Shiva-Buddha, kuning itu simbol ke-Buddha-an. Alias pencerahan sempurna.

Makanya janur yg digantung tetua Bali saat Kuningan bentuknya mirip Mandala (lingkaran sempurna). Semua berputar di lingkaran kesempurnaan yg sama.

Agar tidak mengulangi kisah sedih Mayadenawa, endapkan pesan ini dalam-dalam: “Sebagaimana Tirtha tidak bisa dipisahkan dg basah, keheningan sejati tidak bisa dipisahkan dg compassion”.

Tidak kebetulan jika di hari Kuningan ada piodalan di Pura Sakenen. Sebuah buku suci tua menulis, Sakenen berasal dari kata Sakyamuni. Seseorang yg telah mengalami keheningan sempurna.

Titip ke sahabat dekat Compassion utk melakukan pelayanan yg rapi di bawah bimbingan koordinator Bali pak Adi Wiryawan di Pura Sakenen senen 20/6 2022 jam 14 wita.

Sambil mengendapkan pesan ini melalui tindakan. Semoga semua mahluk berbahagia. Semoga semua mahluk berbahagia. Semoga semua mahluk berbahagia.

Photo courtesy: Unsplash

Tentang Penulis

Gede Prama

Guruji Gede Prama memulai perjalanan spiritual dengan berdialog bersama Guru simbolik di sebuah desa di Bali Utara. Ini kemudian diperkaya dengan sekolah ke luar negeri, perjumpaan dengan Guru spiritual dunia seperti YM Dalai Lama, YA Thich Nhat Hanh serta Profesor Karen Armstrong, serta olah meditasi yang panjang.

Kendati pernah memimpin perusahaan dengan ribuan karyawan, terbang ke beberapa negara untuk tujuan mengajar, tapi semua itu ditinggalkan karena dipanggil oleh bom Bali di tahun 2002. Sejak beberapa tahun lalu beliau bahkan tidak pernah meninggalkan Bali, sekali-sekali saja keluar dari keheningan hutan untuk mengajar di tempat-tempat suci di Bali.

Detil dan kontak di https://www.gedeprama.com/

Silahkan Berkomentar

 

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.